• Facebook
  • Twitter
  • Google+
  • Pinterest

Tiba-tiba saja teringat sebuah jargon yang saya sendiri tidak tahu kapan jargon ini mulai muncul. Namun ia melekat dan mengakar kuat di benak kebanyakan mahasiswa PENS. Jargon itu bertuliskan “Kampus Tradisi Juara”. Tradisi yang dimaksudkan disini mungkin adalah juara kontes robot, tentunya tanpa mengesampingkan banyak raihan prestasi di ajang lainnya. Ya…, kampus ini sudah 12 kali juara Kontes Robot Indonesia berturut-turut dan telah tercatat dalam Musium Rekor Indonesia (MURI). Memang asosiasi PENS dan robot sangat kuat, dan hampir tidak terpisahkan. Robot secara tidak langsung ikut andil mem-branding kampus ini menjadi terkenal. Dikenal karena kampus ini (hampir) selalu terpampang namanya di papan atas jawara kontes robot baik nasional maupun internasional. Ingat PENS, sudah pasti yang diingat adalah prestasi tim robotnya.

Kembali lagi ke soal jargon. “Kampus Tradisi Juara” tertanam di alam bawah sadar mahasiswa tanpa disadari. Karena juara itu tradisi di kampus ini, karenanya kalau kalah berarti bukan tradisi kampus, bisa jadi ada yang mengartikan kalah adalah sesuatu yang buruk buat nama baik kampus. Bahkan ada ungkapan, “Menang ga kondang, kalah wirang” (kalau menang tidak menambah terkenal, kalau kalah membuat malu). Ada juga gurauan setengah serius di kalangan mahasiswa dulu, kalau sampai robot kalah, kalau kuliah “bakal tutupan ember” (pakai ember di kepala, untuk menutupi rasa malu). Ya itu menunjukkan luar biasa nya menjaga tradisi juara robot di kampus ini.

Namun akhir-akhir ini, banyak pertanyaan datang bertubi-tubi, “Piye robote, koq iso kalah?”, dan banyak lainnya yang mempertanyakan mengapa tim robot PENS sekarang prestasinya terus menurun. Pertanyaan diatas mungkin dengan sederhana, bisa ditanya balik “Apakah robot PENS ga boleh kalah, harus menang terus gitu..?”. Respon ini sengaja dibuat retoris tanpa bermaksud sinis. Yang pasti pertanyaan ini memang tidak memerlukan jawaban dan argumentasi dari siapapun. Saya pribadi mencoba berpikir positif, bahwa yang bertanya itu adalah mereka yang punya rasa cinta, rasa memiliki dan memahami bahwa tim robot punya sejarah panjang di kampus ini.

Kita semua meyakini bahwa menang atau kalah itu urusan Allah SWT, tapi ikhtiar dan tawakal untuk meraih kemenangan itu urusan kita masing-masing. Kalau menang berarti takdir kita sejalan dengan keinginan kita, so pasti ga ada masalah, karena itu artinya berkah bagi kita. Kemenangan biasanya dirayakan dengan makan bersama, dikasih beasiswa atau insentif, bisa nampang di spanduk depan kampus, koran lokal, website, masuk TV, ya minimal PENS-TV lah. Yang pasti kemenangan hampir selalu identik dengan apresiasi, selebrasi dan euforia. Namun hal ini berbeda 180 derajat, kalau kalah. Minimal menunduk lesu diam seribu bahasa, bahkan ada yang sampai menangis haru, ada yang dibayang-bayangi oleh rasa malu sampai diajak foto aja ga mau, dan yang paling parah ada yang merasa jadi “the loser” yang ga bisa move-on, sampai kebawa saat kuliah.

Deskripsi sederhana di atas sebetulnya adalah hal yang manusiawi. Namun secara implisit menggambarkan kita hanya disiapkan untuk menjadi pemenang, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan saat kalah. Karena semua instrumen, seremonial, dan sederetan apresiasi hanya disiapkan untuk menyambut kemenangan. Bagaimana dengan saat kalah ? tidak ada apresiasi, yang ada hanyalah justifikasi “Anda kalah, dan itu bukan tradisi kampus ini.”  Ya, ini hanya perumpamaan sederhana orang melankolis dalam memahami jargon “Kampus Tradisi Juara”. Justifikasi ini akan tetap terus dirasakan, jika kita tidak tahu bagaimana caranya kita menghargai usaha orang yang belum berhasil membawa nama kampus tercintanya berkibar di ajang kompetisi. Walaupun hal ini berbeda dengan jargon orang kholeris yang “tidak ada kamus kalah”. Karenanya perlu juga kita sesekali mengambil jargon orang pleghmatis seperti “dalam perlombaan, menang kalah itu biasa”, tapi kita perlu juga belajar dari orang sanguinis yang punya jargon “ketika kita bisa merayakan kekalahan, berarti kita adalah pemenang yang sesungguhnya.” Kali ini saya sependapat dengan orang sanguinis.

Perayaan itu identik dengan antusiasme, gelora, semangat, gairah dan minat yang besar atas suatu peristiwa yg terjadi. Merayakan kemenangan itu hal yang biasa dilakukan sebagai bentuk selebrasi sang juara. Namun kekalahan hanya butuh apresiasi, dari siapapun yang bisa memberikan apresiasi. Kalau kita masih belum bisa mengapresiasi kekalahan, artinya kita hanya siap untuk sebuah perayaan atau seremonial saja. Dan hanya akan mendapatkan perasaan hampa saat menonton kampus lain naik panggung untuk menerima piala juara. Kekalahan setidaknya punya hak yang sama untuk dirayakan sebagaimana kemenangan. Karena kekalahan lebih membutuhkan pengakuan untuk mengembalikan antusiasme, semangat dan gairah yang telah hilang.

Ayo kita rayakan kekalahan, jangan mau kalah sama yang menang. 😊

Anom PENS’03