Jamak kita temui, hampir setiap orang yang menghadapi masalah terlihat kusut di wajahnya. Pada tingkatan tertentu, ada sebagian orang bahkan sampai stres dalam menghadapi masalah. Fenomena ini semakin hari semakin bertambah jumlahnya. Mulai dari caleg yang gagal, siswa yang merasa tidak bisa menyelesaikan unas sampai masalah keluarga dan ekonomi. Ironisnya diatara mereka yang “tidak kuat” menyelesaikan masalah sampai bunuh diri. Naudzubillah!

Pada tulisan kali ini, penulis akan melihat masalah dari sudut pandang yang lain. Masalah bukan menjadi beban. Tapi masalah sebagai sarana menaikkan derajat manusia, baik di sisi manusia apalagi di sisi Allah.

Belajar dari “Ohm”

Penulis teringat guru SMA saat mengajari rumus fisika, “V=I x R”. V adalah tegangan atau beda potensial, I adalah arus dan R adalah hambatan atau beban. Sekilas memang rumus ini terkesan hanya rumus dasar orang elektro yang dikenal dengan hukum ohm.

Tapi berangkat dari keyakinan bahwa ilmu Allah itu tidak terlepas dengan bidang lainnya, penulis mencoba menghubungkan dengan permasalahan sosial. Dari rumus ini penulis bahasakan, potensial seseorang itu (V) berbanding lurus (=) dengan arus atau usaha / amal / ikhtiar (I) dikalikan dengan beban atau masalah (R).

Paling tidak ada dua poin penting yang bisa kita renungkan dari rumus ini. Pertama dari sisi ikhtiar (I). Bahasa sederhananya, sekalipun manusia punya potensi –sebesar apapun– untuk menyelesaikan sebuah masalah –sekecil apapun–, tapi tidak ada ikhtiar (I=0) untuk menyelesaikannya, maka tidak akan ada artinya potensial itu. Artinya, masalah tersebut tidak terselesaikan. Jadi untuk kasus ini bukan karena tiadanya potensi tapi karena tiadanya ikhtiar (I).  Ibarat listrik di rumah kita, ketika saklar kita “off”kan meskipun di rumah ada listrinya, lampupun tidak akan menyala. Allah mengingatkan kita, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ”. (QS 13:11)

Kedua dari sisi potensial (V). Ikhtiar sudah dilakukan bahkan sampai ngoyo. Tapi karena potensial lemah atau kecil maka kita hanya bisa menyelesaikan masalah-masalah yang kecil. Begitu masalah yang datang lebih besar, maka bisa dipastikan kita tidak akan mampu untuk menyelesaikannya. Banyak contoh dari saudara-saudara kita, ketika sakit tidak bisa berobat yang terbaik. Ketika mau menyekolahkan anaknya di sekolah terbaik, juga terkendala dengan biaya. Dari sahabat Abu Hurairah, kita diingatkan sabda Rasulullah, “Mu’min yang kuat lebih dicintai Allah dari mu’min yang lemah”. (HR. Muslim)

Potensi dan Masalah

Titik tekan kita selanjutnya adalah di poin kedua, bagaimana potensial kita mampu untuk menyelesaikan masalah. Karena pada dasarnya Allah tidak akan memberi beban kecuali kita mampu untuk menyelesaikannya. “Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang di luar batas kemampuannya”. (QS 2:286)

Lalu bagaimana meningkatkan potensi kita? Tiada rumus yang jitu untuk meningkatkan potensi kita kecuali berangkat dari firman-Nya dalam Al-Qur`an surat Al-Mujaadilah ayat 11 : “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. Ya, dengan iman dan ilmu. Karena ilmu yang dilandasi iman adalah syarat awal sebelum beramal, agar amal kita diterima. Dan Semakin banyak ikhtiar atau amal yang kita lakukan, selain berdemensi ukhrawi – ada nilai pahala di sisi Allah—juga meningkatkan kadar keahlian atau profesional kita.

Coba perhatikan, jika potensial (V) kita bertambah sedangkan masalah (R) tetap, maka dipastikan usaha atau ikhtiar (I) yang dilakukan tidak terlalu berat atau tanpa ngoyo. Inilah kekuatan bertambahnya ilmu yang dilandasi iman sebagai dasar beramal. Contoh dalam keseharian ini banyak kita temui di lapangan.

Tiada ceritanya, orang yang terbiasa melakukan amal (sholih), lalu tidak meningkat potensi dan  kualitas amalnya. Semisal, seorang kuli bangunan yang baru pertama kali kerja, biasanya di hari petama terasa berat. Namun seiring berjalannya waktu dan pengalaman, maka semakin hari terasa ringan dan mudah. Bahkan di waktu tertentu, saatnya bebannya ditambah. Kenapa ditambah? Ya, karena potensinya si tukang kuli sudah bertambah.

Itulah hakekat dari usaha atau ikhtiar. Semakin banyak ikhtiar (I) kita, kalau dihubungkan dengan rumus di atas, semakin besar nilai di sisi kanan ( I x R ) meskipun dengan beban yang tetap pasti sisi sebelah kiri (V) semakin bertambah. Sementara dengan beban (R) ditambah dan ikhtiar (I) semakin besar, pasti potensi (V) semakin besar pula.

Hikmahnya, bagi orang yang terbiasa menyelesaikan masalah yang besar lalu dia diberi beban yang kecil maka terasa ringan. Begitu juga Sebaliknya. Sebagai contoh, orang yang jarang berinfaq, maka ketika diminta untuk berinfaq akan terasa berat, meskipun infaq itu sangat kecil dibanding kekayaannya.

Selamat datang Masalah

Akhirnya pada kesadaran, selama kita masih hidup atau selama potensi (V) masih ada, maka kita tidak akan lepas dari masalah (R). Beda halnya kalau kita sudah mati, maka potensi (V) kita — sebesar apapun — sudah diNOLkan oleh Allah. Meskipun kita berikhtiar (I) sekuat tenaga tiada akan bermakna. Surat Al Mu’minuun : 99-100 menjelaskan, “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan”.

Karenanya, Setiap masalah datang bukan untuk ditakuti, tapi harus dihadapi. Semakin sering kita menghadapi masalah, semakin sering kita menghapi beban, maka disitulah potensial kita semakin besar. Mari siapkan diri untuk beramal yang terbaik sebelum ajal menjemput kita. Lalu katakan kepada masalah, “Selamat datang masalah, dengan senyum terindah kau kusambut. Ku yakin masalah ini bisa diselesaikan dan meningkatkan potensi diri ini, Karena Allah yang Maha Besar bersamaku”.