Pada zaman dengan serbuan arus teknologi saat ini, minat terhadap budaya daerah kian “menipis” ( berusaha untuk tidak mengetik “hilang”). Ditunjang dengan adanya globalisasi membuat budaya daerah yang berasal dari dalam negeri sendiri justru kian tersisih karena sepinya peminat.

Anggapan bahwa kegiatan yang berhubungan dengan budaya daerah malah justru terkesan kuno dan ketinggalan zaman membuat generasi muda enggan melestarikan.  Budaya yang seyogyanya menjadi jatidiri suatu bangsa lama – lama akan hilang ketika generasi penerus justru enggan untuk menjaga dan merawatnya.

Memang beberapa budaya harus mampu beradaptasi dengan zaman yang kian modern tanpa harus keluar dari pakem yang berlaku. Beberapa tradisi yang bersifat klenik pun kini mulai dihilangkan. Hal ini dikarenakan dinilai sudah tidak relevan dengan yang terjadi disaat ini.

  • Facebook
  • Twitter
  • Google+
  • Pinterest

 

Salah satu budaya daerah yang saat ini mampu bersaing dalam arus teknologi adalah Reyog Ponorogo. Kesenian ini berasal dari kota di Jawa Timur yang dulunya sering dianggap menyeramkan dan dekat dengan nuansa mistis, kini mulai banyak diminati tak hanya warga Ponorogo tapi juga banyak dari luar kota Ponorogo. Terbukti ketika diadakannya Festival Reyog Ponorogo setiap tahun, antusiasme grup pelestari reyog yang berasal dari luar Ponorogo cukup banyak.

Tak hanya itu, penjualan tiket pun saat ini sudah mulai memanfaatkan teknologi hanya dengan menggunakan gawai. Teknologi ini memang terkesan familiar karena sudah banyak tiket konser musik atau bioskop dapat dipesan secara daring, tetapi untuk konser budaya, hal semacam ini merupakan pembaharuan ke arah yang positif.

Pelestarian budaya reyog di Ponorogo tak hanya dipanggul oleh praktisi budaya terkait. Kerjasama antar institusi pendidikan juga terjalin. Strategi jitu semacam ini justru sukses untuk memupuk budaya untuk mencintai budaya reyog oleh generasi muda Ponorogo. Reyog banyak dimasukkan kedalam ekstrakulikuler bahkan dari jenjang sekolah dasar. Ada pula yang menawarkan jalur masuk melalui kesenian budaya, tak terkecuali reyog. Hal semacam ini harapannya dapat menjadi stimulus bagi generasi penerus untuk melestarikan tradisi.

  • Facebook
  • Twitter
  • Google+
  • Pinterest
Agenda tahunan yang sering diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo yaitu Festival Nasional Reyog Ponorogo (FNRP) dan Festival Reyog Mini (FRM) merupakan salah satu wadah sebagai pendukung untuk melestarikan kesenian tradisi ini. Tahun lalu, dari peringkat sepuluh besar FNRP, empat diantaranya berasal dari institusi pendidikan (rata-rata usia SMA dan kuliahan), serta empat lainnya berasal dari luar Ponorogo.

Dari segi kemasan pun kini juga mulai beradaptasi. Kini cara “memasarkan” reyog pun tak hanya menyasar untuk generasi tertentu, melainkan lintas generasi, dari mulai anak – anak hingga para orangtua.

Fakta tersebut dapat dijadikan salah satu indikator bahwa suksesnya pelestarian budaya ketika semua institusi terkait mampu untuk bekerja sama dan saling mendukung satu sama lain. Ketika budaya suatu bangsa sudah dilestarikan, maka hal ini dapat meligitimasi secara kultural bahwa bangsa tersebut secara sah setara dan dapat bersanding dengan bangsa lain. Pernyataan tersebut selaras dengan pernyataan diawal postingan ini bahwa budaya merupakan identitas suatu bangsa.

Sumber foto  : https://www.kompasiana.com/bunnan