Ludruk, kesenian yang dipuja dan ditinggalkan. Orang selalu mengatakan ludruk adalah kesenian khas Jawa Timur atau mungkin lebih kecilnya Surabaya. Kalau kita ditanya kesenian khas Surabaya itu apa, akan lebih banyak yang menjawab: Ludruk! Tetapi di sisi yang lain, apa kita mau menonton ludruk? Nah, ini dia permasalahannya. Tidak banyak yang mau, terlebih lagi generasi milenial yang lebih tertarik pada drama Korea yang setingannya cuman itu-itu saja dibandingkan ludruk yang menampilkan banyak variasi cerita yang justru lebih dekat dengan kita.
Sebetulnya banyak kelompok ludruk di Surabaya, salah satunya yang terkenal adalah Karya Budaya. Itupun tidak banyak yang tahu. Kelompok-kelompok ludruk ini kondisinya sudah pada tahap kritis. Seperti hidup segan mati tak mau. Hal ini lebih banyak disebabkan oleh perubahan budaya yang semakin tidak bersahabat dengan kesenian lokal. Beberapa kelompok ludruk sudah mulai mengikuti jaman, tetapi tetap saja tidak mendapat respon positif.
Ludruk dipuja. Ya! Kita selalu mengatakan ludruk itu punyanya Jawa Timur, atau ludruk itu punyanya Surabaya. Itu ditulis di buku pelajaran baik anak SD sampai SMP. Namun ludruk ditinggalkan. Mari kita jujur, apakah kita kenal dengan beberapa tokoh ludruk ini: cak Sidiq, cak Markeso, cak Munawar, cak Bawong, cak Durasim, cak Kartolo, cak Sapari, cak Sokran, cak Blontang, cak Basman, cak Supali?
Cak Durasim iterkenal karena saat ini namanya menjadi nama gedung kesenian Surabaya. Beliau ini yang membawa ludruk sebagai sarana edukasi bagi masyarakat untuk mengobarkan semangat kemerdekaan dan kebangsaan. Bahasa ludruk yang dibuat lugas membuat ludruk lebih mudah diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Cak Kartolo, salah satu legenda ludruk yang sampai saat ini masih manggung dengan Kartolo cs. Nama-nama seperti cak Sapari, ning Tini, cak Basman, cak Sokran dan cak Blontang adalah tokoh yang menjadi bagian dari ludruk Kartolo cs. Saat ini hanya cak Sapari dan ning Tini yang masih hidup dan tetap menemani cak Kartolo untuk terus bermain ludruk.
Ludruk memang harus mengikuti jaman. Di sinilah dibutuhkan keterlibatan orang-orang yang menguasai teknologi untuk menjadi jembatan agar ludruk bisa bertransformasi menjadi seni pertunjukan yang bisa dinikmati oleh generasi milenial. Nah, kita ikut di bagian yang mana? Yang pasti, kita tidak ingin kan kalau ludruk hanya menjadi kenangan untuk dipuja, tetapi tetap ditinggalkan.
Recent Comments